Selamat datang ke website Pengadilan Negeri Medan Kelas I A Khusus menuju Wilayah Bebas Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani   Click to listen highlighted text! Selamat datang ke website Pengadilan Negeri Medan Kelas I A Khusus menuju Wilayah Bebas Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani Powered By GSpeech
logo mahkamah agung website ramah difable
Proses Berperkara

Fokus Pengumuman

  • +

Artikel / Makalah Hakim

  • +

Berita Terkini

Penyelesaian Sengketa Hak Kekayaan Intelektual Melalui Pengadilan Niaga

Penyelesaian Sengketa Hak Kekayaan Intelektual  Melalui Pengadilan Niaga

oleh : Catur Iriantoro, SH.M.Hum

(Mantan Hakim Pengadilan Niaga Medan)

 

Globalisasi dan Kegiatan Perdagangan

Arus globalisasi telah menjadikan kegiatan di sektor perdagangan semakin meningkat, bahkan telah menempatkan dunia sebagai pasar tunggal bersama. Mobilisasi barang dan jasa yang berskala antar negara memerlukan standarisasi dan perlindungan, apalagi negara – negara menyadari perdagangan merupakan faktor yang sangat penting dalam meningkatkan ekonomi negara. Dengan demikian sektor perdagangan harus diberi peran bilamana perekonomian negara ingin maju.

 

Dalam pasar tunggal bermakna perdagangan bersifat multinasional, yang dalam implementasinya negara – negara memerlukan peraturan yang standar dan diharapkan dapat memberi perlindungan terhadap para anggotanya. Organisasi yang mengatur perdagangan dunia menjadi jawaban yang dapat memuaskan negara-negara.

Sesungguhnya sejak tahun 1947 secara multilateral telah disepakati pembentukan perdagangan multinasional yang diatur dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), yang kemudian disempurnakan dalam delapan putaran perundingan, mulai putaran Geneva (1947) sampai Uruguay Round (1986-1994). Dalam putaran Uruguay inilah disepakati Final Act dari perjanjian dagang multilateral oleh utusan negara-negara yang ditandatangani pada 15 Desember 1993. Perjanjian utamanya adalah pembentukan WTO (Agreement The World Trade Organization).

Seiring dengan pesatnya perdagangan karya intelektual, maka sejak awal dekade 80-an terdapat desakan dari negara – negara agar kekayaan intelektual dimasukkan dalam putaran Uruguay. Karya –karya intelektual sebagai hasil pemikiran dan kecerdasan manusia sudah saatnya mendapat perlindungan, karena pada saat itu karya –karya yang dilindungi dengan hak cipta telah diperdagangkan secara internasional yang pada gilirannya memerlukan perlindungan hukum yang efektif dari segala pelanggaran. Atas desakan tersebut, didalam WTO tercakup Agreement on Trade – Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs). Kesepakatan inilah yang menjadi cikal bakal perlindungan hak kekayaan intelektual.

Harmonisasi Peraturan / Perundang-Undangan

Pemerintah Republik Indonesia telah memutuskan mengesahkan Agreement The World Trade Organization pada tanggal 02 Nopember 1994 melalui diundangkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establising The World Trade Organization. Kebijakan tersebut menuntut penyesuaian / harmonisasi peraturan perundang – undangan dibidang HaKi yang selama ini berlaku (misalnya Undang-Undang Hak Cipta tahun 1982 dan tahun 1987, Undang – Undang Paten 1989 dan Undang – Undang Merek tahun 1992) harus disesuaikan dengan peraturan Hak Kekayaan Intelektual yang disepakati dalam rangkaian WTO maupun TRIPs. Disamping itu terdapat kebutuhan Undang – Undang yang baru yang sebelumnya sama sekali belum diatur, seperti Desain Industri, Integrated Circuit, dan Trade Secret (Rahasia Dagang).

Kontruksi hukum HKI yang diharmonisasi dengan ketentuan WTO maupun TRIPs bermakna peraturan hak kekayaan intelektual merupakan bagian dari perdagangan internasional Undang – Undang Republik Indonesia dibidang Hak Kekayaan Intelektual adalah sebagai berikut :

Rahasia Dagang, UU No. 30 Tahun 2000.

Desain Industri, UU No. 31 Tahun 2000.

Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, UU No. 32 Tahun 2000.

Paten, UU No. 14 Tahun 2001.

Merek, UU No. 15 Tahun 2001.

Cipta, UU No. 19 Tahun 2002.

Perlindungan Varitas Tanaman, UU No. 29 Tahun 2000

Pengaturan dibidang Hak Kekayaan Intelektual dalam suatu peraturan perundang – undangan dapat dinyatakan bahwa suatu peraturan dibidang HKI telah distandarisasi dan berfungsi sebagai pranata yang mengatur dan mengarahkan perilaku masyarakat dalam melindungi dan mempertahankan karya intelektualnya. Dengan rumusan lain peraturan perundang – undangan dibidang HKI berfungsi sebagai a tool of social engineering.

Pengadilan Niaga

Pengadilan Niaga adalah suatu Pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan umum, yang dibentuk dan bertugas menerima, memeriksa dan memutus serta menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang serta perkara lain dibidang perniagaan.

Untuk pertama kalinya Pengadilan Niaga dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden R.I. No. 97 Tahun 1999 dibentuk 4 (empat) Pengadilan Niaga, yaitu Pengadilan Niaga Medan, Pengadilan Niaga Ujung Pandang (Makasar), Pengadilan Niaga Semarang, dan Pengadilan Niaga Surabaya. Khusus wilayah hukum Pengadilan Niaga Medan meliputi wilayah Propinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi dan Propinsi Nangro Aceh Darusallam.

Pembentukan Pengadilan Niaga mula – mula hanya memeriksa dan mengadili perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Sedangkan kewenangan terhadap perkara perniagaan akan lainnya akan ditentukan dengan peraturan perundang – undangan. Perkara – perkara tersebut antara lain adalah perkara – perkara dibidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI).

Penyelesaian sengketa HKI melalui Pengadilan Niaga diatur dalam Undang – Undang sebagai berikut :

Desain Industri (Pasal 46, dst).

Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Pasal 38, dst).

Paten (Pasal 117, dst).

Merek (Pasal 76, dst).

Cipta (Pasal 55, dst).

Catatan : Rahasia Dagang masuk kewenangan Pengadilan Negeri (Pasal 11, dst).

Memaksimalkan Perlindungan Hukum

Pengadilan Niaga dalam berbagai Undang – Undang dibidang HKI diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa melalui Pengadilan Niaga, diharapkan ketentuan yang abstrak didalam peraturan perundang – undangan akan menjadi konkret dan efektif. Dalam rangka memaksimalkan penegakan hukumnya, Undang – Undang mengatur hal – hal sebagai berikut :

Pengadilan Khusus.

Penetapan Sementara.

Hukum Acara Khusus.

Upaya Hukum Kasasi.

Ganti Rugi.

Pengadilan Khusus

Di atas telah disinggung, Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan Khusus yang berada di dalam lingkungan peradilan umum. Sebagai peradilan khusus dilengkapi dengan organ berupa Hakim yang bersertifikasi dan di didik secara khusus, ia berasal dari Hakim – Hakim Pengadilan Negeri yang berpengalaman, dan Hakim Ad-Hoc yang berasal dari para pakar dan profesional dibidang perkara perniagaan. Hakim – Hakim sebagai pejabat yang bertugas dan berwenang menerapkan ketentuan HKI sebagaimana diatur dalam Undang – Undang.

Seperti halnya badan peradilan lainnya, Pengadilan Niaga juga diberi mandat menyelenggarakan kekuasaan kehakiman, suatu kekuasaan yang mandiri yang mempunyai kewenangan menyelenggarakan peradilan secara jujur dan adil. Tugasnya adalah menerima, memeriksa, mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya (termasuk didalamnya perkara – perkara dibidang HKI).

Sebagai Hakim Niaga yang memeriksa sengketa HKI harus memahami kasus dan kriteria perlindungannya, yakni :

Apakah termasuk objek yang dilindungi.

Apakah termasuk kriteria yang dikecualikan dari perlindungan.

Apakah memenuhi persyaratan yang dilindungi.

Apakah terdaftar di negara tujuan dimana perlindungan diharapkan.

Sedangkan penyebab perselisihan dalam sengketa HKI lazimnya adalah :

Ketidak jelasan status kepemilikan.

Penggunaan HKI tanpa seizin pemilik.

Tidak dipenuhinya perjanjian lisensi HKI.

Dengan sarana Pengadilan Niaga yang dipandang memahami kriteria sengketa HKI diharapkan keadilan benar – benar tercapai dan memuaskan. Idealnya setiap putusan Hakim mengandung 3 (tiga) unsur, yaitu :

Unsur kepastian hukum.

Unsur kemanfaatan.

Unsur keadilan.

Untuk memaksimalkan terwujudnya nilai – nilai kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan, maka Hakim dalam menjatuhkan keputusan seyogyanya menguasai seluk beluk metode penerapan hukum seperti metode penafsiran, konstruksi, penghalusan hukum dan sebagainya. Sehubungan dengan tugas Hakim dalam pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman, Retnowulan Sutantio[2] menyatakan otonomi kebebasan mencakup hal – hal sebagai berikut :

menafsirkan peraturan perundang – undangan.

mencari dan menemukan azas – azas dan dasar hukum.

mencipta hukum baru apabila menghadapi kekosongan peraturan perundang – undangan.

dibenarkan pula melakukan contra legem, apabila ketentuan peraturan perundang – undangan bertentangan dengan kepentingan umum, dan

mengikuti otonomi yang bebas untuk mengikuti yurisprudensi.

Penetapan Sementara

Sebelum suatu perkara HKI masuk ke Pengadilan dan didaftarkan, maka atas permintaan pihak yang merasa dirugikan, Pengadilan Niaga dapat menerbitkan surat penetapan sementara untuk upaya perlindungan terhadap pemilik HKI untuk mencegah kerugian yang lebih besar dalam hal ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pihak lain terhadap HKI miliknya.

Lihat Pasal 49 UU Tentang Desain Industri.

Lihat Pasal 125 UU Tentang Paten.

Lihat Pasal 85 UU Tentang Merek.

Lihat Pasal 67 UU Tentang Hak Cipta.

Sebagaimana diketahui, sistem HKI merupakan sistem hukum yang masih sangat muda di Indonesia baik dari sisi regulasi maupun implementasinya. Sistem HKI berkembang di negara – negara industri maju dan menjadi sistem yang bersifat global dan terharmonisasi.

Demikian halnya dengan penetapan sementara merupakan hal baru di Indonesia, sehingga perlu belajar dari praktik – praktik yang sudah matang teruji diberbagai negara maju. Pengadilan di negara – negara maju mengenal beberapa jenis putusan / penetapan seperti Anton Pillar Order, Mareeva Injuction dan Interlocutory.

Anton Pillar Order : adalah putusan yang memberikan kewenangan kepada Penggugat untuk melakukan inspeksi ke tempat lokasi Tergugat dimana pelanggaran dilakukan / barang – barang hasil pelanggaran disimpan.

Mareeva Injuction : adalah putusan yang memberikan kewenangan kepada Penggugat untuk meretensi aset – aset yang diperlukan untuk pemeriksaan perkara.

Interlocutory : adalah putusan – putusan sela yang terkait dengan perintah Pengadilan kepada pihak yang berperkara untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan selama proses perkara HKI dipersengketakan masih berlangsung.

Hukum Acara Khusus

Undang – Undang HKI merupakan ketentuan yang abstrak yang sesungguhnya merupakan “rencana sesuatu tata hukum yang dikehendaki”. Peraturan tersebut menjadi in concreto manakala diterapkan dalam suatu peristiwa hukum tertentu dalam putusan Hakim.

Putusan Hakim akan bergantung kepada pembuktian para pihak yang hukum acaranya diatur dalam hukum acara perdata ditambah beberapa ketentuan khusus yang diatur dalam peraturan HKI tertentu.

Di dalam hukum acara perdata dianut prinsip “actori incumbit probatio” siapa yang mengaku mempunyai hak harus dibebani dengan beban pembuktian. Selain itu terdapat azas hukum : equal justice under law, suatu perlakuan yang sama terhadap para pihak, yang bermakna siapa yang lemah pembuktiannya harus dikalahkan.

Dalam rangka membuktikan dan mendukung dalil gugatannya para pihak dapat mengajukan alat – alat bukti seperti :

Surat – surat;

Saksi – saksi;

Persangkaan;

Pengakuan; dan

Sumpah;

(periksa Pasal 164 HIR dan Pasal 284 Rbg.)

Membuktikan berarti memberikan kepastian secara yuridis, dengan sarana alat bukti, menetapkan secara pasti apa yang terjadi secara konkret dengan jalan mempertimbangkan atau memberikan alasan – alasan logis, sehingga sampai pada kesimpulan peristiwa – peristiwa tertentu dinyatakan benar atau dinyatakan tidak benar. Pada gilirannya para pihak dapat memperoleh gambaran yang jelas mengenai proses pengambilan keputusan dan alasan – alasan yang menjadi dasar pengambilan putusan tersebut. Putusan yang baik mengandung pertimbangan yang lengkap, akurat dan jelas.

Hukum acara khusus juga terkristal dalam kekhususan prosedur bagi penyelesaian sengketa dibidang HKI di Pengadilan Niaga yaitu adanya tenggang waktu yang ketat:

Penyampaian gugatan kepada Ketua Pengadilan.

Mempelajari berkas gugatan dan menetapkan hari sidangnya.

Pemanggilan para pihak untuk bersidang.

Pemeriksaan di persidangan.

Putusan harus diucapkan paling lama dalam 90 hari setelah pendaftaran gugatan.

Penyampaian putusan kepada para pihak.

Upaya Hukum Kasasi

Putusan Pengadilan Niaga dalam sengketa HKI terbuka upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung. Kekhususan ditingkat Kasasi sebagai berikut :

Tenggang waktu pengajuan Kasasi : paling lambat 14 hari.

Tenggang waktu penyampaian Memori Kasasi : paling lambat 7 hari sejak tanggal permohonan.

Pengiriman Memori Kasasi kepada pihak Termohon Kasasi : paling lambat 2 hari setelah diterima Memori Kasasi.

Pengajuan Kontra Memori Kasasi paling lambat 7 hari setelah penerimaan Memori Kasasi. Pengiriman Kontra Memori Kasasi kepada pihak lawan (Pemohon Kasasi) paling lambat 2 hari.

Pengiriman berkas perkara ke Mahkamah Agung paling lambat 14 hari setelah pengiriman Kontra Memori Kasasi tersebut di atas.

Mahkamah Agung wajib mempelajari berkas perkara Kasasi dan menetapkan hari sidang paling lambat 7 hari setelah permohonan Kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.

Putusan Kasasi harus diucapkan paling lambat 90 hari setelah permohonan diterima oleh Mahkamah Agung.

Panitera Mahkamah Agung wajib menyampaikan kepada Panitera Pengadilan Niaga paling lambat 7 hari setelah putusan Kasasi diucapkan.

Juru sita Pengadilan Niaga menyampaikan salinan putusan Kasasi kepada Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi paling lambat 7 hari setelah putusan Kasasi diterima oleh Panitera Pengadilan Niaga.

Ganti Rugi (Remedies)

Karya intelektual adalah aset yang mengandung nilai ekonomis. Kepada pemiliknya diberikan hak monopoli / eksklusif untuk mengontrol penggunaan karya intelektual yang dilindungi. Pemegang Hak Kekayaan Intelektual akan memperoleh imbalan keuangan atas infestasinya dalam menghasilkan karya intelektual.

Tuntutan ganti rugi Hak Kekayaan Intelektual yang dalam Undang – Undang mengatur ganti rugi antara lain :

Pasal 56, Undang – Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Pasal 57, Pasal 76, UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.

Pasal 118, UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten.

Pasal 38, UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

Pasal 46, UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri.

5. Kasus – Kasus HKI

Pada tanggal 24 September 1931, Hakim Pengadilan Negeri Medan (Landraad Medan) sudah dapat mengantisipasi kekosongan hukum mengenai Persaingan Curang (Unfair Competition) dalam kasus COLGATE versus MAISING. Dengan pertimbangan bahwa persamaan pada pokoknya pada merek tidak semata – mata ditentukan oleh persamaan bunyi pengucapan pada kedua merek yang kemasan produk masing – masing merek, diantaranya unsur warna, bentuk, atau formatnya dan kesan selanjutnya dari merek – merek yang bersangkutan.

Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 370 K/Sip/1983 tanggal 19 Juli 1984 tentang sengketa merek “Dunhil” antara Alfred Dunhil Limited versus Lilien Sutan, pada pokoknya menyatakan :

“Pemakaian dan peniruan merek terkenal orang lain harus dikualifikasikan sebagai pemakai yang beretikad tidak baik, karena itu tidak patut diberi perlindungan hukum”.

Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 220/PK/Perd/1986 tanggal 16 Desember 1986 dalam sengketa merek “Nike”, antara Nike Internasional Limited versus Lucas Sasmito, pada pokoknya menyatakan :

“Bahwa Republik Indonesia sebagai suatu negara yang merdeka dan turut serta dalam pergaulan bangsa – bangsa, wajib pula memelihara hubungan internasional dengan menghormati antara lain merek – merek warga negara asing, hal ini tidak hanya terbatas pada keadaan dimana ada hubungan hukum antara prinsipal dengan agen, melainkan juga sikap pengusaha Indonesia yang mengetahui adanya merek yang terkenal secara internasional meskipun tidak / belum didaftar dalam daftar umum kantor Hak Milik Perindustrian, tetapi namanya sudah dikenal juga di Indonesia sesuai dengan makna dari Undang – Undang No. 21 Tahun 1961, tidak dapat menggunakan merek yang sama seperti merek asing yang terkenal tersebut, demi untuk melindungi masyarakat konsumen Indonesia terhadap kekeliruan seakan – akan merek Indonesia tersebut adalah keluaran pabrik yang sama dengan merek asing yang asli”.

Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 39 K/Pdt/1989 tanggal 24 Nopember 1990, antara lain menyatakan :

“Bahwa setiap perbuatan pemakaian merek yang bersifat membingungkan dan mengelabui serta mengacaukan opini dan visual khalayak ramai dikualifikasi mengandung unsur “bad faith dan unfair competition”.

Perkara Paten Sederhana, Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 37/Paten/2003/PN. Niaga Jkt.Pst. tanggal 09 Oktober 2003 jo Putusan Mahkamah Agung RI No. 046 K/HaKi/2003 tanggal 09 Februari 2004, antara lain mempertimbangkan sebagai berikut :

Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

“Walaupun produk Penggugat dan Tergugat terdapat perbedaan “tali air” akan tetapi perbedaan tersebut dapat dikualifisir sebagai melanggar paten dasar dan atau melanggar semua modifikasi yang tercakup dalam klaim paten No. 10. 0. 000.116. S tanggal 31 Mei 1996 milik Penggugat”.

Putusan Mahkamah Agung RI.

“Secara fungsi kedua genteng logam / metal tersebut adalah sama. Sehingga secara yuridis model genteng logam milik Tergugat hanya merupakan modifikasi yang masih didalam lingkup penemuan sebagaimana dimaksud dalam Surat Paten Sederhana milik Penggugat”.

Putusan Pembatalan Hak Paten

Putusan Mahkamah Agung RI No. 11 K/N/HaKi/2002 tanggal 30 September 2002 memutus sebagai berikut :

“Menghukum Tergugat Rekonpensi untuk menghentikan, membuat, menggunakan, menjual atau menyediakan untuk dijual barang – barang hasil pelanggaran Paten miliknya Penggugat Rekonpensi (Tergugat I Konpensi)”.

Putusan Mahkamah Agung (Peninjauan Kembali) No. 02 PK/N/ HaKi/2003 tanggal 13 Mei 2003.

“Sesuai dengan ketentuan Pasal 91 ayat (3) UU No.14 Tahun 2001, Subjek Hukum yang berhak mengajukan tuntutan pembatalan Paten agar Paten lain yang sama dengan Patennya dibatalkan oleh Hakim, adalah subjek hukum pemegang hak Paten, yang hak Patennya sudah terdaftar sah pada Direktorat Paten Departemen Kehakiman RI”.

“Oleh karena Penggugat Konpensi terbukti bukan pemegang hak Paten, maka tuntutannya harus ditolak oleh judex facti”.

Pembatalan Desain Industri Mesin Gergaji Type STIHL (menilai unsur kebaruan / Novelty).

Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 02/Desain Industri/ 2004/PN. Niaga Jkt. Pst jo Putusan Mahkamah Agung RI No. 025 K/N/HaKi/2004 jo Putusan Mahkamah agung RI (Peninjauan Kembali) No. 010 PK/N/HaKi/2005 tanggal 16 Februari 2007.

Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat antara lain mempertimbangkan :

“Mesin gergaji type STIHL 070 yang didaftarkan oleh Tergugat bukan merupakan mode mesin yang baru, karena tidak terdapat perbedaan yang signifikan dengan mesin sejenis yang telah lama beredar dan dipasarkan kepada masyarakat”.

Putusan Mahkamah Agung RI dalam tingkat Kasasi, antara lain mempertimbangkan :

“Unsur kebaruan dalam desain dapat terjadi dengan penambahan atau perubahan bentuk dari desain yang sudah ada, dengan ketentuan bahwa penambahan bentuk yang merupakan suatu kreasi yang baru dan bernilai seni (creating a more pleasing appearance and artistic conception). Dengan adanya perbedaan desain dari kedua unit mesin gergaji milik Penggugat dan Tergugat dimana pada bagian sisi produk yang ditampilkan Penggugat terkesan rata sedangkan yang ditampilkan Tergugat terkesan cembung, perbedaan ini cukup membuktikan bahwa unsur kebaruan dalam produk Tergugat merupakan kreasi baru”.

Putusan Mahkamah Agung ditingkat Peninjauan Kembali.

“Bahwa dengan berpedoman pada article 25 angka 1 Persetujuan TRIPs, maka pengertian “baru” yakni “tidak sama” dengan pengungkapan sebelumnya sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 2000 haruslah diartikan bahwa desain industri yang baru tersebut harus berbeda secara signifikan dengan desain industri yang telah diungkap sebelumnya”.

6. Penutup

Undang – Undang dibidang HaKi mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dan merupakan bentuk yuridis campur tangan negara dalam perlindungan hukum baik secara nasional maupun internasional.

Hakim sebagai organ Pengadilan dituntut untuk mewujudkan perlindungan hukum, keadilan dan kebenaran dalam penegakan hukum dibidang HaKi.

 

* Catur Iriantoro, SH.M.Hum., Mantan Hakim Pengadilan Niaga Medan.

**Disampaikan dalam Seminar Keliling Pemanfaatan Sistem Hak Kekayaan Intelektual Bagi Aparatur Penegak Hukum, Hotel Tiara, Medan, 10 – 11 Maret 2009.

[2] Retnowulan Sutantio, “Perjanjian menurut Hukum Indonesia (dalam Ridwan Khairandy” Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak,” Jakarta, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003, hal.35)”

  • Berita Terbaru Mahkamah Agung

    #
  • Berita Terbaru Mahkamah Agung

    Error: Feed tidak dapat ditampilkan.
  • Berita Terbaru Mahkamah Agung

    Error: Feed tidak dapat ditampilkan.
  • Berita Terbaru Mahkamah Agung

    Error: Feed tidak dapat ditampilkan.

Sistem Informasi Penelusuran Perkara

TypographyDengan diterbitkannya Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 3/DJU/HM02.3/6/2014 tentang Administrasi Pengadilan Berbasis Teknologi Informasi maka peran Aplikasi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP Versi 3.1.3), selanjutnya disebut sebagai SIPP, menjadi semakin penting dan diandalkan untuk proses administrasi dan penyediaan informasi baik untuk pihak internal pengadilan, maupun pihak eksternal pengadilan. Pengunjung dapat melakukan penelusuran data perkara (jadwal sidang sampai dengan putusan) melalui aplikasi ini.

Lebih Lanjut

Pencarian Peraturan Perundangan, Kebijakan Peradilan dan Yurisprudensi

Pencarian Peraturan Perundangan, Kebijakan Peradilan dan Yurisprudensi Pencarian cepat data Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Mahkamah Agung Republik Indonesia

 

LPSE

TypographyLayanan Pengadaan Secara Elektronik Mahkamah Agung RI.

Kunjungi

E-LEARNING

TypographyE-Learning Mahkamah Agung RI

Kunjungi


Click to listen highlighted text! Powered By GSpeech